SURABAYA, Rabu (12/10/2023): Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur Adik Dwi Putranto menghawatirkan terjadinya gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di industri hasil tembakau jika pemerintah benar-benar menaikkan Cukai Hasil Tembakau (CHT) di 2023.
"Saya khawatir akan terjadi gelombang PHK. Karena tahun depan adalah tahun gelap, tahun politik. Jika ada kenaikan cukai, pasti akan mengerek inflasi. Dan ketika inflasi naik maka ujung-ujungnya daya beli semakin turun sehingga produksi juga akan turun," ungkap Adik Dwi Putranto saat bertemu dengan perwakilan industri hasil tembakau di Graha Kadin Jatim, Surabaya, Rabu (12/10/2023).
Untuk itu, Kadin Jatim meminta pemerintah untuk kembali melihat dan memikirkan dampak yang terjadi ketika kebijakan tersebut diputuskan. Apalagi kontribusi industri ini sangat besar terhadap perekonomian nasional, baik dari besaran cukai yang telah disetorkan dalam setiap tahun maupun banyaknya tenaga kerja di industri terkait.
"Kami sudah berkirim surat ke presiden meminta agar kenaikan cukai di 2023 nol persen untuk menjaga kestabilan ekonomi. Kami sangat berkepentingan karena Jatim adalah provinsi dengan produksi tembakau terbesar di Indonesia. Industri hasil tembakau disini juga sangat banyak. Dan tenaga kerja yang terkait dengan pertembakauan ini mencapai jutaan tenaga kerja, mulai dari petani hingga pekerja di industri hasil tembakau," ungkap Adik.
Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Jatim Sulami Bahar juga mengatakan hal yang sama, bahwa jika induatri sudah tidak kuat lagi menanggung beban, maka pastinya akan terjadi rasionalisasi besar-besaran.
"Dampaknya nanti akan terjadi penurunan produksi hingga PHK. Awal kita akan mengurangi jam kerja, kalau sudah tidak sanggup ya larinya ke PHK. Dan kami prediksi yang kena PHK bisa sampai 30 persen dari total karyawan. Sehingga kami minta tidak ada kenaikan cukai, tidak ada simplifikasi tarif cukai, baik untuk tarif cukai SKT golongan IA dan IB, tidak ada penggabungan volume produksi antara SKM dan SPM," ujar Sulami yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Kadin Jatim.
Namun jika pemerintah "ngotot" dan tetap harus menaikkan, maka menurutnya pemerintah harus seimbang dengan memperhatikan industri hasil tembakau. Tentunya kenaikan harus moderat, maksimal sekitar 6-7 persen. Karena dengan kenaikan sebesar 12 persen di tahun 2022 ini, produksi rokok golongan 1 sudah mengalami penurunan sebesar 7 persen.
"Kami sudah mengirim surat ke Gubernur Jatim, ke Badan Kebijakan Fiskal, ke Presiden dan Menteri Keuangan. Kami juga sudah rapat dengan BKF dan Bea Cukai. Semua sudah kami lakukan, tinggal hati nurai terketuk apa tidak," akunya.
Terlebih kenaikan cukai ini juga menyebabkan kenaikan peredaran rokok ilegal. Penelitian Universutas Brawijaya Malang menunjukkan, kenaikan cukai 1 persen berbanding lurus dengan pertumbuhan 6,8 persen rokok ilegal dan minus 0,4 persen produksi.
Legal Market Sales PT Mustika Tembakau Indonesia Onny Wiryandono juga merasa sangat keberatan dengan rencana kenaikan cukai tersebut. Karena di tahun 2022 perusahaan rokok golongan III yang berlokasi di Sidoarjo ini sudah banyak melakukan pengurangan pegawai akibat kenaikan cukai sebesar 12 persen.
"Sehingga di tahun ini kami tidak mau ada kenaikan cukai yang nantinya berdampak pada pengurangan pegawai kembali. Tahun 2022, PT Mustika Tembakau Indonesia telah mengurangi pegawai sebanyak 109 karyawan dari total pegawai kami yang berjumlah 300 orang," ungkap Onny.
Jika di tahun depan kenaikan benar-benar terjadi, maka solusinya yang akan diambil kemungkinan seperti tahun kemarin, pengurangan pegawai karena untuk pengurangan bahan baku ia mengaku tidak bisa. "Saat ini pabrik golongan tiga sudah ada beberapa yang gulung tikar juga, tetapi di tempat kami tetap bertahan dengan melakukan pengurangan pegawai. Saat ini produksi kami turun sebesar 40 persen dibanding tahun sebelumnya," terang Onny.
Sementara itu, General Manager Research and Development PT Tri Sakti Purwosari Makmur (KTNG) Oloan Sianturi mengatakan bahwa situasi ini membuat industri hasil tembakau sangat sulit dan tidak menguntungkan.
Ia mengungkapkan, saat ini industri dalam negeri belum pulih karena covid, daya beli masih rendah dan inflasi cukup tinggi. Ini berpengaruh pada produksi yang mengalami penurunan sebesar 7 persen. Kondisi ini diperparah dengan adanya kenaikan bahan baku yang cukup tinggi, seperti harga cengkeh dan tembakau yang mengalami kenaikan 15-20 persen akibat iklim yang tidak bersahabat.
"Sehingga ketika bicara kenaikam cukai, pasti akan sangat memberatkan. Tingkat daya beli masyarakat rendah dan biaya produksi tinggi. Kami berharap pemerintah tetap membuat keseimbangan, satu sisi memikirkan pendapatan negara dan satu sisi memikirkan kami," katanya
Apalagi kontribusi industri rokok sangat luar biasa terhadap perekonomian nasional. Mulai dari petani hingga karyawan pabrik rokok, semua tergantung pada pertembakauan. "Untuk itu, kami meminta pemerintah mempertimbangkan dan melihat kembali dampak kenaikan cukai tersebut," tambahnya.
Owner PT Surya Hutama Anugerah, Sandee Surya yang juga menjabat sebagai Divisi Kepemerintahan Asosiasi Pengusaha Vapor Indonesia (APVI) juga mengeluhkan bahwa industri vapore yang notabonenya adalah industri baru dalam industri pertembakauan juga harus mengikuti kebijakan tersebut. Pada tahun 2022, industri vapore dikenakan kenaikan cukai sebesar 17 persen sehingga tarif cukai saat ini mencapai 57 persen.
"Akibat kenaikan cukai sebesar 17 persen saja, industri vapore secara nasional tutup 30 perusahaan. Kalau tahun ini terjadi kenaikan lagi, saya tidak tahu apa yang akan terjadi. Oleh karena itu kami berharap kenaikan cukai di tahun depan nol persen," pungkasnya.(*)