Atur IHT, RPP Turunan UU Kesehatan Dinilai Over Authority

SURABAYA, Jumat (29/9/2023): Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia Mukhammad Misbakhun menegaskan bahwa Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) turunan UU Kesehatan yang saat ini tengah dibahas oleh Kementerian Kesehatan dianggap sangat berbahaya karena Over Authority atau diluar kewenangan yang dimiliki.

"RPP ini ada satu yang sangat berbahaya. Karena dari sisi pembentukan aturan perundang-undangan sendiri diatur melebihi Undang-Undang. Saya mengatakan bahwa ini over authority. Peraturan yang mengatur undang-undang, mengatur ulang, mendefinisikan ulang, dan kemudian yang tidak diatur diatur disana, ini berbahaya. Karena menyangkut kehidupan industri, yang di dalamnya ada mata rantai," tegas Misbakhun saat Sarasehan Nasional Ekosistem Pertembakauan dengan tema "Menolak Zat Adiktif Produk Tembakau Diatur RPP Kesehatan" di Surabaya, Jumat (29/9/2023).

Ia menyatakan Kementerian Kesehatan berhak mengatur aspek kesehatan, tetapi kementerian ini tidak berhak mengatur industri karena industri ada peraturannya sendiri, pertanian ada peraturannya sendiri. "Karena dampaknya sangat besar terhadap IHT, dimana ada ekosistem yang hidup, mulai dari petani, butuh, industri hingga sektor perdagangan dan sebagainya. Dan ini menyangkut hajat hidup orang banyak," tandasnya.

Keberadaan RPP ini menurutnya juga akan mempengaruhi pola konsumsi para perokok yang menyebabkan penerimaan negara yaitu cukai tembakau. "Harapan saya pemerintah berfikir ulang. Mengkaji kembali RPP ini dengan melihat berbagai aspek karena kalau aspek kesehatan mengintervensi aspek-aspek dalam sendi kehidupan yang lain, itu pasti akan melahirkan penolakan. Penolakan akan melahirkan gejolak. Mulai dari gejolak sosial, politik dan sebagainya. Risiko itu harus dihitung pemerintah," tandasnya..

Sementara itu, Ketua Umum Kadin Jatim Adik Dwi Putranto mengungkapkan, dalam RPP ini dalam beberapa pasalnya yang patut dipertanyakan apakah ini merupakan “Bentuk Regulasi Diskriminatif Terhadap Ekosistem Pertembakauan". Padahal sebelumnya telah ada Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

"Peraturan ini telah berlaku selama lebih dari sepuluh tahun dan telah memainkan peranan penting pada komoditas pertembakauan," katanya.

Sementara di RPP turunan UU Kesehatan banyak pasal yang sangat meresahkan yang berisi tentang berbagai larangan. Diantaranya adalah larangan menjual produk tembakau secara eceran atau batangan, larangan menjual melalui situs penjualan (market place) dan media social dan larangan untuk memajang produk tembakau ditempat penjualan.

Selain itu juga ada pelarangan menjual produk tembakau pada tempat penjualan dan larangan memproduksi produk tembakau pada tempat kerja. Larangan mengiklankan produk tembakau di tempat penjualan, media luar ruang dan melalui internet.

Pengaturan iklan pada media cetak (hanya boleh ditaruh di lembar Tengah dan tidak boleh didekatkan pada produk makanan) dan penyiaran (pada pukul 23.00-03.00). Kemasan harus isi 20 batang per bungkus.

Juga larangan promosi dan sposnsorship dari produsen produk tembakau dan rokok elektronik dalam bentuk apapun termasuk sponsor kegiatan social, Pendidikan, olahraga, music, kepemudaan, kebudayaan atau melibatkan Masyarakat umum. Dan larangan peliputan dan publikasi media pada program bantuan tanggung jawab social Perusahaan (CSR) produk tembakau dan rokok elektronik.

"Amandemen peraturan ini, pasal-pasal pengamanan zat adiktif yang diusulkan oleh Kemenkes sarat dengan berbagai pelarangan, bukan pengendalian dan pengawasan seperti yang diamanahkan UU Kesehatan. Hal ini merupakan bentuk diskriminasi dan cerminan pemahaman pemrakarsa kebijakan yang sempit dalam mengukur dampak yang akan ditimbulkan kebijakan tersebut dalam memberikan tekanan kepada lebih dari 6 juta jiwa yang merupakan bagian dari ekosistem pertembakauan, serta lebih luasnya terhadap penyerapan tenaga kerja dan perekonomian nasional," tegas Adik.

Padahal Industri Hasil Tembakau (IHT) menjadi sektor vital dalam perekonomian nasional dengan menjadi salah satu penyumbang terbesar penerimaan negara melalui cukai. Industri ini terus berkembang dan memainkan peranan penting dalam menyediakan lapangan kerja bagi banyak orang.

IHT telah berkontribusi pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan target sebesar Rp, 232,5 triliun Rupiah pada tahun 2023. Penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) Januari-Agustus baru mencapai Rp 125,8 triliun atau turun 5,8% dibanding Januari-Agustus 2022 yang mencapai Rp134,65 triliun. Realisasi CHT tahun 2023 diperkirakan hanya Rp 218,1 triliun atau 93,8% dari target APBN 2023 yang sebesar Rp, 232,5 triliun.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Henry Najoan mengatakan bahwa saat ini, akibat banyaknya aturan yang mengikat dan membatasi, produksi industri rokok tanah air terus mengalami penurunan.

"Kami sangat keberatan sekali atas RPP ini karena Industri hasil tembakau anggota Gappri terus mengalami kontraksi luar biasa di tahun ini. Mengalami penurunan produksi sangat signifikan dibanding tahun-tahun sebelumnya dan kami menganggap PP yang sudah ada sudah berlaku selama ini sudah sangat ketat mengawasi dan mengatur kami. Tetapi kalau ada RPP lagi yang sifatnya makin banyak pelarangan, pasti industri kami akan alami kesulitan dan menderita. Tentu akan terganggu dan pasti akan berpengaruh pada sektor lain, hulu hingga hilir, mulai petani, pekerja sampai dengan pengecer. Dan kami menolak," terangnya Henry Najoan panjang lebar.

Saat ini penurunan terbesar terjadi pada industri hasil tembakau golongan satu yaitu mencapai 14 persen. Padahal industri golongan satu ini berkontribusi sebesar 70 persen dari total penjualan produk IHT.

"Secara total, produksi tahun ini diperkirakan mencapai dibawah 300 miliar batang, turun dibanding tahun lalu sebesar 320 miliar batang. Khususnya untuk industri kami yang legal. Ini produksi paling rendah kr tidak pernah produksi rokok dibawah 300 miliar batang. Paling baik di saat 2019, produksi bisa mencapai 360 miliar batang," ujarnya.

Terkait RPP turunan UU Kesehatan, Henry mengatakan sebagian besar pasal yang mengatur tentang industri hasil tembakau adalah pasal pelarangan sehingga industri ini terkesan dianggap industri ilegal. "Kami sebagai industri padat karya dan padat peraturan, tentunya kami berharap industri masih bisa bertahan. Tidak hanya diatur untuk menuju sunset industri yang semakin mundur," ujarnya..

Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea dan Cukai, Nirwala Dwi Heryanto, yang turut hadir secara daring dalam acara ini menyampaikan bahwa dalam penyusunan RPP Kesehatan ini diperlukan sinergi antar kementerian.

“Dalam pembahasan aturan pengendalian, ada dua instrumen yang digunakan yaitu instrumen non-fiskal dan fiskal. Untuk menghasilkan peraturan yang tepat, diperlukan kolaborasi antar kementerian terkait. Dalam hal RPP ini, sangat dibutuhkan sinkronisasi antara apa yang diatur dalam RPP dengan UU cukai yang sudah ada, agar tidak terjadi tumpang tindih,” katanya.

Nirwala juga mengatakan bahwa sebelum menciptakan peraturan baru, seperti RPP terkait zat adiktif produk tembakau ini, sebaiknya dipertanyakan mengenai aturan yang sudah ada sebelumnya, yaitu PP 109 tahun 2012.

“Apakah benar PP 109 perlu direvisi? Apa yang membuatnya perlu direvisi, apakah dari sisi substansi atau dari sisi implementasi? Sebagai contoh, mengenai aturan kemasan yang terkait erat dengan wacana perluasan peringatan kesehatan 90%, apakah ada penelitian bahwa hal tersebut akan menurunkan angka perokok. Lalu uji nikotin, dimana, siapa dan b mengenai bagaimana implementasinya?” tanyanya.

Diskusi RPP Kesehatan telah dimulai sejak bulan September dan diperkirakan akan segera ditetapkan. Hal ini menimbulkan keresahan dan penolakan keras dari ekosistem tembakau mengingat peraturan terkait tembakau yang ada saat ini saja sudah cukup memberatkan dan mengalami penurunan tajam. Diketahui pada tahun 2007, terdapat 4.669 unit usaha rokok dan pada tahun 2022 hanya tersisa 1.100 unit usaha saja.(*)