Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) pada hari Rabu (4/12/2023). PP nomor 80 tahun 2019 ini dikeluarkan untuk melaksanakan pasal 66 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Pelaku usaha dalam PMSE ini meliputi pelaku usaha dalam negeri dan pelaku usaha luar negeri.
Selama ini pelaku usaha PMSE dari luar negeri bebas melakukan transaksi di Indonesia tanpa ada kantor perwakilan dan terbebas dari pajak. Dalam pasal pasal 7 (tujuh) PP tersebut disebutkan bahwa pelaku usaha luar negeri pada PMSE dengan kriteria significant economic presence akan diberlakukan ketentuan dan mekanisme perpajakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan (pasal 8). Kriteria significant economic presence di diukur melalui jumlah transaksi, nilai transaksi, jumlah paket pengiriman, dan/atau jumlah trafik atau pengakses.
Ketentuan dan mekanisme perpajakan terhadap PMSE luar negeri akan mengurangi daya saing pelaku PMSE luar negeri dan tentu memperkuat pelaku PMSE dalam negeri. Pelaku PMSE luar negeri harus mengurus perijinan dan membuka kantor di Indonesia sehingga akan mengikuti peraturan perpajakan di Indonesia. Ini adalah bentuk keberpihakan pemerintah terhadap pelaku usaha dalam negeri. Pelaku usaha luar negeri juga harus dikenakan pajak juga seperti halnya pelaku usaha dalam negeri. Pengenaan pajak untuk pelaku usaha luar negeri ini tentu akan menambah pendapatan pajak kita negara kita. Dengan adanya kantor di Indonesia, masyarakat kita sebagai konsumen juga terlindungi.
Tetapi Peraturan pemerintah ini sebenarnya juga rentan memberatkan dan menjadi penghambat berkembangnya pelaku usaha dalam negeri, khususnya usaha mikro, kecil dan menengah. Padahal sejarah mencatat bahwa ketika krisis ekonomi melanda Indonesia pada 1998, UMKM menjadi entitas ekonomi yang paling tangguh menghadapi terpaan badai tersebut.
Tahun 2018 dan 2019, UMKM memberikan kontribusi terhadap PDB hingga 60 persen. Dan Kementerian Koperasi dan UMKM mentargetkan tahun 2020 ini, kontribusi UMKM terhadap PDB menjadi 61persen, dan target rasio kewirausahaan menjadi 3.55 persen. Dengan serapan tenaga kerja di atas 95 persen, UMKM ini tidak hanya penopang utama ekonomi, tetapi juga menjadi solusi dalam mengurangi jumlah pengangguran.
Munculnya usaha e commerce dalam negeri, selain dipicu oleh perkembangan teknologi yang begitu pesat, juga menjadi indicator bahwa konsumen dan produsen memiliki pilihan untuk melakukan efisiensi yang lebih besar daripada membuka gerai secara langsung. Konsep ini pula yang mendorong pelaku UMKM semakin menjamur, karena membuka usaha kecil secara konvensional yang identik dengan tingginya modal usaha tergantikan oleh pilihan yang lebih sederhana, seperti tergabung dalam market place yang memiliki rating dan alur transaksi yang meyakinkan penjual dan pembeli.
Tantangan baru bagi para pelaku UMKM adalah menyediakan dana, waktu dan tenaga extra untuk poses mendapatkan Nomor Induk Berusaha (NIB). Klaim pemerintah, UMKM atau pelaku usaha cukup mengisi form Online Single Submission (OSS) dan tidak dipungut biaya, kenyataannya proses pengurusan ijin melalui OSS ini berbeda untuk setiap bidang perijinannya termasuk akan ada syarat tambahan dari pemerintah daerah untuk ijin tertentu. Tidak hanya berhenti di sini, setelah mendapat ijin akan membawa konsekuensi pajak bagi pelaku UMKM baik itu pelaporan maupun pembayarannya. Artinya untuk proses pengurusan akan akan menambah beban dan selanjutnya setelah mendapatkan ijin juga akan menambah beban urusan pajak.
Ada sekitar 59,4 juta UMKM di Indonesia dimana ada sekitar 9 persen saja yang sudah melakukan perdagangan melalui system elektronik. Sekitar 18 persen lainnya baru memakai media sosial untuk marketing dan penjualan produknya. Selain itu, sekitar 36 persen UMKM sudah memiliki akses internet tetapi belum memanfaatkan untuk marketing dan penjualan produknya. Sisanya tidak memiliki akses internet untuk kegiatan usahanya yang paling banyak sekitar 37 persen (Kontan, 15 Nopember 2019). Data ini menunjukkan bahwa pelaku UMKM kita sebagian besar diatas 70 persen belum memanfaatkan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) ini seharusnya menjadi peluang bagi mayoritas pelaku UMKM kita untuk berkembang dan menumbuhkan pelaku usaha baru tumbuh akses marketing dan penjualannnya. Lebih dari 70 persen UMKM kita perlu kita dorong untuk bisa memanfaatkan peluang pasar melalui on line. Ironisnya beban pengurusan ijin dan beban pajak ini pasti akan akan mengurangi daya saing UMKM kita. Lebih berbahaya lagi kalau ini akan mempersempit dan membatasi pasar para pelaku UMKM ini. On line marketing di pilih pelaku UMKM karena murah dan cocok untuk pelaku UMKM yang modalnya sangat terbatas.
Pemerintah perlu melakukan antisipasi terhadap dampak berlakuknya PP agar tidak menjadi penyebab turunnya daya saing UMKM kita. Pemeintah melalui departemen koperasi dan UMKM mestinya bisa memfasiltasi ini supaya mempermudah dan mengurangi beban sumber daya, waktu dan tenaga untuk mengurus ijin ini. Kalau terkait dengan pajak tentu urusanya dengan departemen keuangan.
Kita lihat saja semoga peraturan Menteri perdagangan sebagi turunan dari PP 80/2019 ini benar-benar berpihak pada pelaku UMKM kita. Ini juga sebagai ukuran serius tidaknya pemerintah dalam mewujudkan target ekspor UMKM di level 30,20 persen, kontribusi terhadap PDB 65 persen, dan rasio kewirausahaan 4 persen pada tahun 2024.
Penulis: Darno, SE, MM, Ak, CA, CMA, ACPA
(Ketua Komite Tetap Bidang Fiskal Kadin Jatim dan Kaprodi Kewirausahaan, FEB – UMAHA-Sidoarjo)