SURABAYA, kabarbisnis.com: Kamar Dagang dan Industri (Kadin)
Jawa Timur memiliki keyakinan besar jika kedelai lokal bisa bersaing dan
menggantikan kedelai impor. Keyakinan tersebut dengan melihat potensi kedelai
dalam negeri yang sudah berkembang.
"Prinsipnya, kedelai Indonesia itu bisa bersaing
dan berkompetisi dengan kedelai impor. Sudah saatnya kita beralih ke kedelai
lokal agar ketergantungan terhadap kedelai impor bisa diatasi," ujar ujar
Ketua Umum Kadin Jawa Timur Adik Dwi Putranto di Surabaya, Senin (31/10/2023).
Menurut Adik, sudah lama Indonesia terbuai dengan keberadaan
kedelai impor. Program swasembada kedelai yang didengung-dengungkan pemerintah
ternyata tidak membuahkan hasil. Bahkan produksi kedelai lokal semakin turun
sehingga ketergantungan terhadap kedelai impor menjadi semakin besar hingga
mencapai 90 persen.
Pada tahun 2020 produksi kedelai Jatim tercatat
hanya 57.235 ton per tahun. Sementara tingkat konsumsinya mencapai
447.912 ton per tahun sehingga defisit atau kekurangan
sebesar 390.677 ton per tahun.
"Padahal kita punya potensi untuk bisa keluar dari
kondisi ini. Tinggal keinginan pemerintah atas tercapainya swasembada kedelai
ini apa memang benar ataukah hanya sebatas diatas kertas," tegas Adik.
Hal ini dikuatkan oleh Wakil Ketua Umum Bidang Pertanian dan
Pangan Kadin Jawa Timur, Edi Purwanto bahwa salah satu perusahaan swasta di
Jawa Timur, PT Tarutama Nusantara (TTN) Jatim sudah berhasil mengembangkan
varietas kedelai yang produktivitasnya cukup tinggi, sekitar 3,2 ton per
hektar, menyamai produktivitas kedelai di luar negeri.
"Dari sisi kualitas biji, mulai dari besarnya biji
hingga kandungan pati itu sama dengan kedelai impor, bahkan warnanya lebih
bagus kedelai dari TTN yang ada di Jember dibanding kedelai impor," tambah
Edi.
Selain adanya varietas kedelai unggul, area tanam kedelai di
Indonesia sebenarnya sangat luas. Ini didukung oleh kebiasaan pola tanam petani
kita, dari padi, kemudian padi dan saat musim panen ketiga ditanami kedelai
atau padi, jagung dan ketiga kedelai, tergantung polanya.
Jadi dari sisi kebiasaan pola tanam, petani Indonesia
sebenarnya sudah biasa menanam kedelai. Terlebih banyak juga petani yang sudah
terbiasa dengan pola tumpangsari atau pola tanam "methuk".
"Di Jateng, sistem tumpangsari jagung dengan kedelai
sudah dilakukan, potensi panen berurutan, petani dapat double. Asalkan pola
budidaya tepat. Itu sudah dilakukan di Grobogan Jateng. Sehingga tidak ada
alasan Indonesia tidak bisa produksi kedelai," katanya.
Tetapi kenapa petani Indonesia menjadi menjadi malas menanam
kedelai, hal itu menurut Edi karena selama ini mereka belum menemukan varietas
bagus.
"Ketika mereka tanam dengan varietas jelek, maka
produksinya rendah, biaya produksi menjadi tinggi dan harga jual menjadi mahal.
Akibatnya, kedelai lokal kalah bersaing dengan impor. Dengan tersedianya bibit
kedelai unggul tersebut persoalan ini sebenarnya sudah terselesaikan,. Tinggal
bagaimana pemerintah memberikan dukungan dan support," kata Edi.
Menurutnya, sejauh ini belum ada kemauan kuat pelaku
kebijakan untuk mendorong peningkatan produktivitas kedelai lokal, termasuk
dalam hal kebijakan fiskal serta penyebaran benih kedelai unggulan yang bisa
ditanam di dalan negeri. Dia mencontohkan, misalnya pada saat tanam,
program KUR hanya menyasar petani tebu, padi dan jagung, sementara petani
kedelai belum tersentuh sama sekali.
"Sehingga kami usulkan, harusnya kedelai kurang lebih
disamakan, KUR harusnya tidak hanya diberikan kepada petani padi, jagung dan
tebu," ungkapnya.
Di sisi subsidi, Edi mengatakan subsidi bagi petani harusnya
diganti dengan subsidi hilir. Karena walaupun ada subsidi hulu di sektor pupuk,
ternyata petani masih saja sulit mendapatkan pupuk. Kalaupun dapat, tetap
dengan harga yang tinggi.
"Jika selama ini subsidi diberikan di hulu, maka sudah
saatnya subsidi diberikan di hilirnya. Misal harga kedelai di pasar lagi turun
cuma seharga Rp. 4000,. Maka misalkan pemerintah mensubsidi senilai Rp.2000,.
Maka akan diperoleh harga keekonomian yang wajar. Petani bisa mendapat hasil
panennya sebesar Rp.6000,. Sedangkan konsumen juga mendapat harga yang
wajar," ujar Edi
Selain itu penting juga langkah memotong rantai
distribusi dalam tata niaga kedelai ini. Edukasi ke pedagang dan pengrajin
produk yang berbahan baku kedelai seperti pengrajin tahu tempe dan lainnya
bahwa kedelai lokal juga tidak kalah kualitas dan rasanya. "Pemerintah
harus intervensi dalam rantai tata niaganya. Dibuatkan saluran pemasaran dan
subsidi harga," pungkasnya.