KBRN, Surabaya: Krisis pangan global yang kian memburuk
harus disikapi dengan cepat oleh seluruh pelaku industri agro tanah air dari
hulu hingga hilir, salah satunya melalui penerapan bioteknologi mulai dari
pembibitan hingga pasca panen.
Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Jatim
Sumrambah menegaskan, penggunaan bioteknologi saat ini menjadi sebuah keharusan
yang dilakukan. "Kita tidak bisa antipati dengan bioteknologi. Karena
bioteknologi adalah pengembangan yang akan menjadi salah satu jawaban atas
kondisi pertanian kita yang saat ini produksi pangan dengan pertambahan
penduduk tidak seimbang," terang Sumrambah disela acara InaGRO Business
Forum yang digelar oleh Kadin Jatim di Grand City Surabaya, Jumat (12/8/2023).
Terlebih dengan semakin luasnya penyusutan lahan di
Indonesia, termasuk Jawa Timur yang menjadi lumbung pangan nasional. Saat ini,
alih fungsi lahan sangat luar biasa. Secara nasional, luas lahan pertanian di
Indonesia pada tahun 2012 mencapai 8,4 juta hektar. Di tahun 2019, luas lahan
pertanian di Indonesia hanya mencapai 7,4 juta hektar.
"Kalau ini dibiarkan, maka prediksi kami di tahun 2045,
lahan pertanian kita hanya akan mencapai 3,6 juta hektar. Ini tidak akan bisa
mencukupi kebutuhan pangan Indonesia. Terlebih dengan penambahan penduduk yang
sudah diangkat 240 juta jiwa. Itu sangat luar biasa banyaknya yang harus kita
kasih makan," tegasnya .
Maka selain dengan penerapan bioteknologi, hal yang harus
segera dilakukan pemerintah adalah dengan menetapkan Lahan Sawah yang
Dilindungi (LSD) yang tidak bisa diubah fungsinya.
"Sambil kita menjalankan riset-riset yang telah kita
lakukan, termasuk transgenik dan lain sebagainya," tandas Sumrambah.
Sementara fungsi pemerintah dan lembaga risetnya adalah
meningkat keamanan dan menentukan tingkat kesesuaian dengan kondisi di
Indonesia.
"Lembaga riset harus menjamin bahwa hasil riset yang
dikembangkan di Indonesia itu adalah aman. Saat ini sudah ada yang
mengaplikasikan tetapi regulasi pemerintah harus dipercepat untuk bisa melakukan
itu. sosialisasi juga harus diperkuat lagi. Sekali lagi didalam dunia pertanian
yang terpenting adalah tepat, sesuai dengan sasaran, terealisasi dengan baik
dan ada pembuktian. maka proses sosialisasi pasti akan jalan dengan
cepat," tandasnya.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Ketua Kontak KTNA
Nasional M. Yadi Sofyan Noor bahwa bioteknologi sangat dibutuhkan petani untuk
memperoleh bibit atau varietas yang bagus. Jika petani menggunakan varietas
konvensional, maka produksi sangat terbatas.
"Nah kami di KTNA ingin ada temuan bibit baru yang
kapasitas produksi lebih banyak, besar dan lebih bermutu. Dan yang penting juga
tahan kekeringan dan hama," kata Yadi.
Saat ini hanya sekitar 7 varietas hasil bioteknologi yang
telah digunakan. Jika dibandingkan Thailand, China, India dan Pakistan,
Indonesia termasuk negara yang terlambat memanfaatkannya.
"Kalau Indonesia tidak diberi bibit yang bagus sayang
karena potensinya besar," tandasnya.
Misalnya padi, kelebihan dari bibit padi dari varietas
bioteknologi diyakini produktifitasnya sangat tinggi, tahan hama dan
kekeringan.
"Benih-benih itu yang harusnya kita tanaman agar bisa
meningkatkan kapasitas produksi kita," ujar Yadi.
Sementara itu, Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia
(HKTI) Jawa Timur Ony Anwar Harsono mengatakan bahwa penerapan bioteknologi
pasca panen juga sangat diperlukan untuk food scurity atau ketahanan pangan
komoditas yang cepat membusuk. Dengan bioteknologi, maka akan memperpanjang
usia untuk bisa dikonsumsi.
"Dan manfaatnya juga banyak. Tetapi selama ini kita
ragu melaksanakan itu. Bawang putih yang difermentasi misalnya, akan ada
senyawa baru seperti fenolik yang bisa meningkatkan imunitas daya tahan tubuh,
anti kanker dan sebagainya," terang Ony Anwar.
Untuk itu, HKTI sepakat bahwa penggunaan bioteknologi akan
membantu ketahanan pangan Indonesia. Selain produktifitasnya harus
ditingkatkan, bagi jenis tertentu yang daya simpannya tidak lama, ketika
difermentasi bisa digunakan sebagai bahan pangan yang nilai manfaatnya lebih tinggi.